Minggu, 16 Oktober 2016

Pulang Kampung


Sebenarnya saya bingung harus menulis  apa dan harus memulai dari mana, karena sudah sangat lama saya tidak menulis khususnya mengenai cerita sehari-hari, pengalaman ataupun pendapat pribadiku. Yaa setahun lebih saya tidak menulis. Rasanya seperti saya kehilangan sesuatu yang entah apa. Dan malam ini keinginan untuk menulis lagi menyeruak begitu besar di dalam hati dan fikiranku. Anggap saja hati dan fikiranku sedang connectJ.  Setelah merenung cukup lama, akhirnya saya menemukan ide untuk menuliskan pengalamanku saat liburan di kampung bulan Juli lalu.

Perjalanan
Pulang kampung memang sudah menjadi cerita yang tak ada habisnya. Sudah menjadi rutinitas dan tradisi tiap tahun saat libur lebaran. Tapi kepulanganku kali ini bukan di saat libur lebaran melainkan dua minggu setelah libur lebaran. Pasalnya kali ini saya berlibur sekalian menghadiri pernikahan sepupu di Makassar. Meskipun saya sudah sedikit lupa detail ceritanya, tapi sebelum melupakan semuanya saya ingin mengabadikan pengalaman itu dalam tulisan ini.

Jadi, berangkatlah saya, mama dan bapak saya dengan menumpangi bus “Bintang Selamat”. Dari Kendari kami menempuh perjalanan darat menuju pelabuhan Kolaka selama kurang lebih enam jam. Setelah itu naik kapal menuju pelabuhan Bajoe selama tujuh jam. Lalu perjalanan darat lagi menuju kampung halaman bapak saya di Lapri (Lappa Riaja), Kabupaten Bone.

Selama di perjalanan darat dari Kendari, rasanya saya tak ingin membiarkan mata ini terlelap. Saya sangat suka melihat pemandangan alam yang kami lalui. Apalagi saya duduk di depan di samping pak sopir. Puas rasanya bisa melihat pohon dan hutan yang masih alami dan tak terjamah di sepanjang jalan itu. Begitupun keindahan sawah yang bertingkat-tingkat memanjakan mata saat memasuki wilayah kabupaten Bone. Saya berusaha membayangkan, apakah dalam kurun waktu seratus atau dua ratus tahun ke depan pemandangan ini akan tetap sama? Ataukah pohon-pohon yang menjulang tinggi itu akan berubah menjadi gedung-gedung pencakar langit? Entahlah, saya hanya ingin merekam semua keindahan alam itu di dalam kepalaku.

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dan dynamo bus yang jatuh yang menyebabkan  perjalanan kami sedikit terhambat, kami pun sampai di rumah nenek. Alhamdulillah, selama perjalanan saya sama sekali tidak mengalami mabuk perjalan.

Camba

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami bersiap-siap menuju Camba, tempat kelahiran Mama. Jalanan berkelok-kelok, tidak beda jauh dengan jalanan dari kendari-kolaka. Naik turun bukit dengan jurang yang curam di sebelah jalan. Sekitar 1 jam, kami pun sampai di rumah keluarga yang berada di desa Timpuseng. 

Di sana kami beristirahat. Sementara orang tuaku sibuk berbincang dengan sang empunya rumah saya hanya diam dan mendengarkan. Kalau saya diajak berbicara menggunakan bahasa bugis saya pasti menjawab dengan bahasa Indonesia. Bukan tidak bisa berbahasa daerah, saya hanya takut terdengar lucu kalau berbicara. Yang pasti berada di kampung, logat dan cara bicara berbeda sekali dengan biasanya di Kendari.

Pemandangan di desa ini juga sangat menawan, sawah bertingkat-tingkat, bukit-bukit yang mengelilingi dan udaranya sangat sejuk. Kekurangannya satu, karena berada di lembah jaringan di sini sangat buruk. Sehingga membuat saya harus bersabar untuk mengupload keindahan tempat ini ke media sosial.


indah bukan?

Aaah saya membayangkan bagaimana kehidupan mama waktu kecil di sini. Bermain di sawah, mandi di sungai, cari kemiri di hutan…. Saya tidak bisa berhenti memotret, selfie, dan berfoto dengan pemandangan ini. Seandainya saya memiliki teman yang bisa diajak “gila” saya ingin sekali jalan-jalan di tengah sawah sekaligus berfoto-foto. Sayangnnya teman seperjalanan saya hanya sepasang kakek-kakek dan nenek-nenek saja. J

Kami menginap di Camba semalam karena besoknya kami akan pergi jalan-jalan ke Taman Nasional Bantimurung. Subuh-subuh, Aji, sepupuku yang umurnya sebenarnya sangat berbedah jauh dari saya karena anaknya pun lebih tua dari saya, yang membuat saya bingung harus memanggil dia apa dan karena dia sudah menunaikan ibadah haji, saya pun memanggil dia Aji sudah menyiapkan bekal untuk ke Bantimurung. Sedangkan saya masih meringkuk di balik selimut tebal karena suhu di sana dinginnya keterlaluan. Sampai pukul delapan pagi pun rasanya masih enggan meninggalkan tempat tidur. Saya pun dengan terpaksa bangun dan berjuang melawan dinginnya air, mandi.

Bantimurung

Setelah penantian panjang, akhirnya saya menginjakkan kaki di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Tempat wisata di kampung sendiri tapi selama ini saya hanya melihatnya di televisi. Dari jauh saya dan keluarga sudah di sambut oleh pemandangan patung monyet raksasa dan kupu-kupu yang sudah tidak berbentuk kupu-kupu lagi (sayang sekali). 


Sebelum memasuki area permandian air terjun Bantimurung, saya membeli beberapa cinderamata khas Bantimurung yang banyak di jual di sekitar area parkir kendaraan. Perlu diketahui, tiket masuk ke tempat wisata ini yaitu dua puluh lima ribu per orang, cukup terjangkau. 




Sayangnya, saat berkunjung ke sini, sedang musim hujan sehingga airnya keruh dan saya tidak menjumpai seekor monyet pun, serta kupu-kupu yang saya lihat pun sedikit. Meskipun begitu tidak mengurangi sukacita saya berada di sini. Kalau sudah berada di tempat kaya begini rasanya kurang afdol kalau belum foto-foto, iya kan? hehe.



Saya kurang berbakat jadi model, jadi maklum gayanya kaya gini...

Setelah puas mandi-mandi di bawah air terjun dan keliling sampai di depan pintu gua, waktunya makan bekal yang sudah dibawa sambil bersantai sejenak menikmati suasana alam di sini. Sekitar jam satu siang kami pun bergegas pulang dan saya tidak sempat mengunjungi museum kupu-kupu yang ada di kawasan wisata ini. Yang pasti saya ingin mampir lagi ke sini.


Senin, 24 Agustus 2015

Teks

Malam sudah larut
Saat mataku masih menyala
Pandanganku tak beralih sedetikpun
Dari layar handphone yang lesu
Menanti sepotong kata

Aaah..
Apa yang kuharapkan
Suara yang menggetarkan jiwa
Ataukah teks berisi deretan kata-kata cinta

Pada malam yang sepi
Kepada siapa harus kuadukan
Kecamuk rindu
Jangankan mendengar suara
Teksmu saja tak lagi dapat kubaca


24 agustus 2015

Selasa, 23 Juni 2015

Serba Serbi Ramadhan

Assalamualaikum Warrahmatullahi wabarakatu...

Alhamdulillah hari ini kita sudah memasuki puasa ke enam, dan semoga kita masih diberi kesehatan dan umur panjang sehingga kita bisa menjalankan ibadah puasa hingga akhir ramadhan dan dapat berjumpa lagi dengan ramadhan tahun depan. Amin.

Sudah tiga hari rupanya aku tidak mengup-date tulisan, yah karena satu dan lain hal. (Hmm... banyak alasan). Alhamdulillah hari ini otakku sedang dipenuhi banyak ide. Tanganku sudah gatal sejak tadi ingin segera menari di atas keyboard dan menuangkan segala ide yang berseliweran di kepalaku ini.

Berbicara mengenai bulan ramadhan tentunya menyangkut banyak hal. Bukan hanya sebagai kewajiban bagi umat muslim yang beriman untuk berpuasa dan memperbanyak ibadah. Tetapi bulan ramadhan sudah menjadi tradisi dan juga budaya di Negara kita.

Ketika memasuki bulan ramadhan, kita bisa melihat beragam cara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan suci di setiap daerah. Kita juga dapat menjumpai berbagai macam kuliner ramadhan yang tentunya hanya ada di bulan ini saja. Selain itu, stasiun-stasiun televisi juga berlomba-lomba menayangkan siaran-siaran ataupun acara-acara yang berbau religi.

Padahal akan lebih baik jika acara-acara religi seperti itu, tidak hanya ada di bulan ramadhan saja tetapi ada di sepanjang tahun. Karena menurutku dengan adanya siaran-siaran religi yang hanya ada di bulan ramadhan, seolah-olah kita mendekatkan diri kepada Allah dan mengajak orang kepada kebaikan hanya satu bulan saja. Tetapi di bulan-bulan lainnya, yang disajikan televisi lebih banyak hiburan yang manfaatnya sebenarnya masih harus dipertanyakan.

Tidak hanya itu kebiasaan yang muncul di bulan ramadhan adalah maraknya orang-orang yang menjual petasan dan kembang api. Yang menurutku tidak ada sama sekali kaitannya dengan bulan suci ini. Petasan juga lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Seperti yang kita saksikan di berita-berita banyak kasus kecelakaan saat menyalakan petasan bahkan sampai memakan korban jiwa.

Aku juga memiliki banyak pengalaman berurusan dengan petasan ini, yang tentunya menyebalkan. Seperti misalnya beberapa hari yang lalu, di saat pulang dari shalat tarwih , aku dikagetkan dengan petasan yang dimainkan oleh anak-anak di pinggir jalan. Lain lagi dengan hari ini, di mana saat sedang khusyuk mendengarkan ceramah di masjid, suara kembang api di udara berbunyi dengan begitu keras yang tentunya sangat mengganggu kami.

Nah, kenapa petasan dan kembang api harus beredar di saat bulan ramadhan? Sementara di bulan lainnya tidak. Padahal kehadirannya hanya mengganggu dan mengusik ketenangan dan kekhusyukan ibadah kita. Sebenarnya saya pernah mendengar berita bahwa pemerintah melarang penjualan petasan di bulan ramadhan, namun faktanya tiap tahun petasan juga tetap menjamur.

Walaupun aku juga memaklumi orang yang menjual petasan tersebut karena mencari rezeki dan mungkin juga karena himpitan ekonomi. Walaupun sebenarnya  ada banyak jenis jualan lain yang bisa dijual di bulan ramadhan ini. Mungkin kembali lagi kepada mereka yang menyalakan petasan hendaknya tidak mengganggu dan mengusik orang lain. Apalagi saat kita sedang menunaikan ibadah shalat tarwih di masjid.

Nah mengenai shalat tarwih di masjid, sangat menarik membahas ceramah yang disampaikan oleh ustad yang namanya, aku tidak terlalu dengar tadi. Inilah sebenarnya inti dari tulisanku kali ini. Terlepas dari masalah kembang api, aku cukup fokus mendengarkan ceramah hari ini.

Tema utama yang dibahas yaitu mengenai “takwa”. Takwa menurut yang disampaikan ustad tadi yaitu menjalakan segala perintah Allah SWT. dan menjauhi perbuatan yang diharamkan-Nya. Singkatnya, ada dua hal yang diharamkan oleh Allah SWT. yang pertama adalah benda yang haram karena zatnya, dll. Contohnya babi, apapun bentuknya kalau itu dari babi adalah haram.

Yang kedua yaitu haram dalam bentuk perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah STW. Yang dicontohkan oleh ustad tersebut, misalnya perbuatan tidak menutup aurat yang dilakukan seorang muslimah. Padahal sangat jelas ayat yang memerintahkan dan mewajibkan wanita muslim untuk menutup auratnya dan hanya telapak tangan dan wajahnya saja yang boleh terlihat.

Aaah... pembahasan ini sangat menyentilku sebenarnya, karena sampai sekarang aku belum sepenuhnya menjalankan kewajibanku yang satu ini. Alasannya, mungkin karena hidayah itu belum datang. Tapi kalau mau berpikir untuk menunggu hidayah itu datang, kapan? Kalau aku sendiri tidak mencarinya. Masalah ini sebenarnya diam-diam selalu mengusik batinku. Tapi aku hanya berharap dan berserah diri semoga aku diberikan kemudahan dan segera memenuhi kewajibanku sebagai muslimah, amin.

Selanjutnya, ustad mengatakan (saya hanya mengutip secara tidak langsung) bawha takwa itu bukan hanya bagi individu saja tetapi juga dalam bentuk jamaah atau masyarakat, daerah, bahkan Negara harusnya semua bertakwa. Tetapi Negara kita menurutnya belum bertakwa karena Negara kita tidak berbentuk Negara Islam dan belum menerapkan hukum Islam. Inilah yang aku tidak setuju dari sekian isi ceramah ustad malam ini. Bukan  menyalahkan pendapat sang ustad, aku hanya tidak setuju. Dengan pengetahuan dan ilmu yang masih dangkal ini, aku memliki pehaman dan alasan lain.

Mengapa sebagai muslim aku tidak setuju dengan diterapkannya Negara dan hukum Islam secara penuh di Indonesia. Pertama, sudah jelas dasar Negara kita adalah pancasila. Di mana di dalamnya terdapat sila pertama yaitu ketuhanan yang maha esa. Di mana pada awalnya sebelum pancasila disahkan sebagai dasar Negara dalam UUD 1945, di beberapa rumusan sebelumnya sila pertama pancasila yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun karena adanya saran dari pemuka-pemuka agama lain yang ada di Indonesia, setelah diskusi yang alot dengan cara mufakat disepakatilah sila pertama pancasila seperti yang kita kenal sekarang. (Berdasarkan sejarah yang pernah aku baca)

Para pendiri bangsa sangat jelas sudah benar-benar memikirkan bentuk dan model pemerintahan Indonesia dengan memperhatikan semua golongan dan tidak hanya berdasarkan hukum Islam. Karena di Negara ini bukan hanya terdapat umat Islam saja, walaupun jumlahnya memang tebesar di dunia, namun kita tetap harus menghargai dan menghormati agama-agama lain.

Ke dua, Indonesia adalah Negara yag luas dengan beragam suku, agama, bahasa, dan ras. Sehingga dalam membicarakan mengenai SARA ini sangat sentimentil. Bisa menyulut terjadinya pertikaian. Bayangkan jika kita memaksa diterapkannya Bentuk Negara Islam di Indonesia apa yang akan terjadi? Apakah Negara ini akan damai?

Menurutku, melihat keberagaman yang ada, bentuk Negara demokrasi adalah yang paling cocok diterapkan di Indonesia. Kita bisa meneladani kepemimpinan Rasullullah di Madinah yang menjamin kemerdekaan beragama dan tidak memaksakan seluruh penduduknya untuk memeluk Islam saat meletakkan dasar-dasar negaranya. Dan sebaliknya menjalin hubungan persahabatan dengan bangsa Arab yang tidak memeluk Islam.

Masalah hukum, mungkin kita bisa mengacu pada hukum-hukum Islam, tetapi dengan melihat dan menyesuaikan kondisi sosial yang ada di Indonesia. Memang hukum di Indonesia masih menjadi sebuah polemik. Karena masih terdapat banyak ketimpangan. Inilah PR pemerintah yang seharusnya segera diselesaikan agar masyarakat bisa merasakan keadilan, yang dijanjikan sila ke lima dasar Negara kita.

Untuk ketakwaan seseorang maupun dalam kelompok, menurutku kita sebagai manusia tidak dapat mengukurnya. Sebaliknya, yang perlu kita lakukan hanyalah mengoreksi dan introspeksi diri. Serta mencoba menjadi manusia yang lebih baik dan lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta.

Tulisan ini, hanyalah sedikit pendapat pribadiku yang sekali lagi masih memiliki pengetahuan dan ilmu yang sangat dangkal. Anda bisa jadi memiliki pendapat dan pemahaman sendiri mengenai semua hal yang aku kemukakan di atas. Jadi, mohon maaf apabila apa yang aku ungkap di sini banyak kesalahan. Aku pun hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa.

Wassalam....

Jumat, 19 Juni 2015

Menjadi Indonesia



Kamu orang Indonesia? Tapi sudahkah kamu benar-benar mencintai Negara ini dengan sepenuh hati? Apa yang telah kamu berikan untuk bangsa kita? Untuk pertanyaan yang terakhir, aku pun belum bisa menjawabnya. Tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa menjadi bahan renungan buat kita yang terlahir sebagai warga Negara Indonesia.

Lahir, tinggal, dan menghabiskan seluruh hidup kita hingga detik ini di negeri seribu pulau yang sangat kaya akan keindahan alam maupun budayanya, tentu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Kita adalah satu dari puluhan ribu orang Indonesia. Kita adalah satu di antara ribuan orang yang berasal dari suku bangsa yang berbeda. Dan kita adalah satu orang yang membuat bangsa ini menjadi kaya.

Kita adalah salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia dari sekian banyak berkah yang diturunkan Allah SWT di bumi pertiwi ini. Seperti itulah seharusnya. Sebagai generasi muda, kita adalah aset paling berharga yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini ke depannya. Menjadi pemimpin, membangun negeri, dan melestarikan budaya itulah tugas kita.

Namun faktanya, banyak anak-anak muda yang sama sekali tidak memiliki rasa nasionalisme terhadap Negara yang telah memberinya kehidupan. Anak muda zaman sekarang lebih banyak yang mencintai Negara lain daripada Negara sendiri. Pengaruh budaya luar dan segala yang ditawarkannya membuat kita lupa, budaya sendiri.

Berwisata ke luar negeri kelihatan lebih keren daripada mengelilingi negeri sendiri. Padahal alam Indonesia menawarkan panorama yang jauh lebih indah. Inilah mindset orang Indonesia yang harus diubah.

Orang asing saja yang negaranya banyak diimpikan oleh orang Indonesia yang ingin ke sana, justru sebaliknya. Mereka malah lebih mencintai indonesia daripada kita yang pribumi. Baru saja aku menonton tayangan Kick Andy yang sangat inspiratif. Di mana pada episode kali ini Kick Andy menghadirkan para bule yang sangat mencintai Indonesia dan rela meninggalkan negaranya untuk menetap di Indonesia. Mereka pun tak segan untuk mengabdi dan melakukan perubahan di tempat mereka tinggal.

Pada segmen awal, Kick Andy menghadirkan dua tamu yang telah tinggal di Indonesia puluhan tahun dan telah menjadi warga Negara Indonesia. Namun, yang paling menarik menurutku yaitu dua tamu Kick Andy yang sampai saat ini belum mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Padahal mereka telah banyak mengabdikan dirinya untuk negeri ini.

Yang pertama yaitu Hywel Coleman. Dia berasal dari Inggris. Awalnya ke Indonesia untuk mengajar bahasa Inggris lalu kemudian dia jatuh hati pada Negara ini. Setelah kembali ke Inggris dan telah menjadi dosen di salah satu universitas ternama di sana, dengan kedudukan yang tinggi pula. Rasa rindunya terhadap Indonesia membuatnya melepaskan kedudukannya di Inggris dan dia lebih memilih menetap di Indonesia. Selama bertahun-tahun dia berjuang untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, namun hingga detik ini dia masih belum berhasil. Padahal dia sangat mencintai Indonesia dengan tulus. Saat ditanya oleh Andi Noya apa yang membuatnya jatuh cinta pada Negara ini? Dengan bahasa Indonesia yang fasih, dia menjawab yang mebuatnya jatuh cinta pada Indonesia adalah keramahan orang-orangnya dan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan di Negara lain itu ada di Indonesia. Hywel sampai berkaca-kaca saat membahas mengenai hal ini. Bahkan Hywel pun ingin dimakamkan di Indonesia jika dia meninggal dunia.

Yang ke dua, pria mualaf yang berasal dari Columbia yang besar di Australia dan telah mengubah namanya menjadi Wahyu Soeparno Putro. Ia juga sangat mencintai Indonesia dan telah hidup selama bertahun-tahun di tanah air. Meskipun begitu ia belum juga mendapatkan kewarganegaraan Indonesia meskipun telah melakukan beragam cara.

Melihat kedua orang ini, yang sangat cinta dan sangat ingin menjadi Warga Negara Indonesia tidakkah kita merasa malu? Mereka rela meninggalkan segala kekayaan, keluarga dan apapun yang dimilikinya di Negara kelahirannya demi menjadi warga Negara Indonesia. Itupun tak semudah yang mereka bayagkan.

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Hywel pasti sangat menyentuh siapa saja yang mendengarnya. “Izinkanlah saya menjadi orang Indonesia”. Itulah harapan terbesar dan pesan  yang ingin disampaikan Hywel kepada pemerintah atau siapa saja yang berwenang dalam hal ini.

Begitupun yang disampaikan oleh Wahyu, buat pemerintah buka hati nurani untuk memberikan kami kesempatan. Kami datang di Indonesia bukan karena mau mencari keuntungan, tetapi murni karena cinta kepada Indonesia. Begitulah kira-kira yang disampaikan oleh Wahyu karena saya hanya mengutipnya secara tidak langsung.

Besar sekali kecintaan mereka terhadap Negara kita dan besar pula keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kita. Sudahkah kita merasa bangga dan bersyukur karena menjadi orang Indonesia tanpa harus susah payah?

Menjadi orang Indonesia itu mahal, maka cintailah negerimu lebih besar daripada orang asing yang mencintai negerimu. Malulah kepada mereka yang dengan suka rela mengabdi tanpa memperhitungkan imbalan. Janganlah mengeluh atas kekurangan bangsamu, tapi berbuatlah sesuatu untuk memenuhinya. Jangan jadikan dirimu sebagai beban Negara tapi kamulah yang harus bertanggung jawab atas negaramu.

Aku juga belum berbuat sesuatu yang sangat berharga untuk negaraku tercinta ini. Tapi dengan tulisan inilah salah satu wujud kecintaanku pada bangsaku. Semoga di masa depan aku, kamu dan kita semua bisa jauh lebih berguna untuk tanah air tercinta, Indonesia.


*Catatan kecil untuk Indonesiaku tercinta, semoga bermanfaat 
Jumat 19 Juni 2015


Kamis, 18 Juni 2015

Sang Motivator

Hari ini, aku sebenarnya tidak tahu mau menulis apa. Tapi karena sedang mendisiplinkan diri untuk menulis tiap hari selama bulan puasa, aku pun harus memaksakan otakku berpikir keras mencari ide apa yang akan aku tulis hari ini. Karena tidak ada ide lain yang nyantol di pikiranku. Dan sejak siang tadi aku tertarik untuk menulis tentang orang ini.

Eby. Kalau membaca atau mendengar nama ini pasti yang terlintas di kepalamu adalah udang-udang kecil yang dikeringkan. Eiits, sebelum imajinasi liarmu itu kemana-mana, Eby yang aku maksud di sini bukan Eby seperti yang kamu bayangkan. Sudah beberapa kali nama ini terlampir di beberapa tulisanku sebelumnya. Eby adalah gadis aquarius yang sangat menyukai perahu. Dia juga adalah seorang penulis yang jam terbangnya bisa dibilang sudah lebih tinggi daripada aku. Kalau tidak percaya bisa buka blognya radareby.blogspot.com.

Ada loh orang yang mengira kalau aku dan Eby itu kembar. Banyak juga yang bilang kami berdua mirip. Mirip dari mananya coba? Aku sendiri bingung kenapa banyak orang yang berpikir begitu. Jangan-jangan Eby juga merasa terganggu kalau dibilang mirip aku. Secara di lihat dari sudut mana pun juga sangat jelas perbedaan di antara kami. Sifat dan karakter apalagi, sangat bertolak belakang.

Selain sebagai seorang teman, Eby bisa dibilang salah satu motivator dalam hal menulis buatku. Aku belajar banyak hal tentang tulis menulis dari dia. Eby jugalah yang sering mengedit dan memberikan saran untuk tulisan-tulisanku.

Penggemar Dee Lestari ini adalah cewek pendiam yang sangat anti berbicara di depan umum. Berteman dengannya, mambuat aku jadi ketularan mengoleksi buku-buku. Kalau soal membaca, aku memang sangat suka membaca dari dulu tapi jarang membeli buku dan lebih sering pinjam punya teman atau di perpustakaan sekolah. Tapi setelah mengenal Eby rasa sukaku makin bertambah dan membuatku jadi kolektor buku-buku juga. Walaupun buku-buku Eby masih lebih banyak daripada aku. Hehehe.

Berbicara soal menulis, aku tertarik pada dunia ini sejak kelas dua SMP. Tapi sampai masuk kuliah, cerpen yang selesai aku buat itu hanya satu. Itu pun karena tugas di pelajaran Bahasa Indonesia. Tulisanku yang lain tak pernah mencapai ending. Hanya ada beberapa tulisanku yang berbentuk puisi. Itu pun hanya ungkapan-ungkapan kegalauanku saja.

Setelah bertemu Eby, aku merasa iri padanya (irinya yang positif loh, bukan negatif). Dia memiliki semangat dan motivasi yang tinggi dalam menulis. Sejak tertarik menulis kelas dua SMA dia sudah membuat banyak karya dalam bentuk cerpen. Eby juga aktif menulis tiap hari.

Dari Eby-lah aku jadi berpikir, kenapa aku tidak bisa seperti dia. Aku juga bisa menulis kok. Dia juga selalu memberiku semangat dan selalu mengingatkanku untuk terus menulis. Walau mungkin dia juga sudah lelah, karena aku semangatnya datang-datangan.

Aku memang memiliki banyak motivasi untuk menulis. Apalagi setelah membaca novel trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Tapi virus malas selalu saja menjangkitiku. Kau tahu kan rasanya kalau virus ini sudah menyerangmu? Bahkan segunung ide yang ada di otakku bisa terhapus begitu saja akibat virus ini.

Namun aku sadar, walau bagaimanapun orang lain memberikan dukungan dan semangat kalau bukan aku sendiri yang memotivasi diriku, aku takkan pernah maju. Tidak berkembang dan jauh tertinggal dari orang lain. Dan aku tidak ingin seperti itu, aku ingin maju dan menjadi lebih baik lagi.

Menulis bukanlah hal yang rumit. Berulang kali dosenku mengingatkan, “kalau mau jadi penulis yang perlu kau lakukan hanya menulis, menulis, dan menulis.” Sesederhana itu. Tampak gampang walau dalam realitanya sangat sulit. Apalagi untuk memulai. Memang harus ada motivasi dan keinginan kuat dari dalam diri sendiri agar menulis bisa aku lakukan.

Setidaknya aku sudah berada di taraf memulai dan membiasakan diri menulis. Apalagi di bulan suci ramadhan ini, libur pula. Aku harus bisa memanfaatkan waktuku untuk menulis.

Kembali ke Eby, kami pernah membeli sebuah buku kumpulan cerpen saat festival TBM (taman Baca Masyarakat) tahun lalu. Karena kebetulan ada salah satu penulisnya kami pun meminta tanda tangan. Ada catatan kecil setelah tanda tangannya, “Buat Wulan Supiani, Semoga jadi penulis saingannya Ebi”. Begitulah isi catatan kecil itu tanpa aku kurangi atau lebihkan.

Kata-kata dari kakak ini sebenarnya sangat menohokku, setiap kali aku membacanya. Bagaimana bisa aku jadi saingannya Eby kalau aku saja malas sekali menulis. Berbanding terbalik dengan Eby yang seperti sudah aku jelaskan di atas. Yang lebih penting lagi, aku tidak ingin menjadi saingannya Eby. Karena bagiku  tidak ada persaingan di antar kami. Aku bahkan lebih banyak belajar dari eby.

Kata-kata saingan mungkin tidak tepat. Tapi bisa berguna untuk menyulutkan semangatku untuk bisa seperti Eby atau bahkan melebihinya. Amin. Tapi aku yakin Eby tidak akan rela dan tidak akan membiarkan aku bisa melebihinya. Hehehe.

Seperti persahabatan Alif dan Randai di novel trilogi Negeri 5 Menara. Persahabatan yang penuh dengan persaingan tapi membawa pada kesuksesan. Karena dengan saling menantang semangat mereka jadi terpacu dua kali lipat untuk membuktikan siapa yang lebih baik dari mereka.

Kalau aku, bukan mengejar siapa yang lebih baik. Tapi bagaimana aku bisa membuktikan kepada diriku sendiri kalau aku juga mampu. Bagaimanapun aku tetap berterimakaih sama Eby, karena dia juga sudah sangat banyak membatuku dalam menulis. Tanpa dukungan Eby, tulisan ini pun mungkin takkan pernah ada. Yah semoga saja Eby tidak kapok men-suport aku untuk terus menulis.


*Terimakasih kaka Eby J


Rabu, 17 Juni 2015

Marhaban Ya Ramadhan

Ucapan marhaban ya ramadhan sudah sejak beberapa hari yang lalu bertebaran di berbagai media sosial. Tampak begitu bersuka cita bulan suci ini disambut. Entah mereka semua yang mengucapkan benar-benar berbahagia menyambut bulan Ramadan ini atau hanya sekadar ikut-ikutan ataupun hanya menyemarakkan penyambutan bulan ramadhan di dunia maya saja, dan di dunia nyata tampak biasa saja. Entahlah. Wallahu a’lam bish-shawab. Saya diajarkan untuk skeptis dalam menyikapi suatu hal, namun agama juga mengajarkan kita untuk berbaik sangka kepada siapa pun.

Aku sendiri? Aah tahun ini aku tak begitu antusias menyambut bulan suci ini. Bukan. Bukan aku tidak bahagia berjumpa kembali dengan bulan yang penuh berkah ini. Bahkan aku telah menyusun jadwal untuk kegiatanku sehari-hari dan apa saja yang akan aku lakukan dalam sebulan ini. Tapi sejak beberapa hari yang lalu aku sudah kedatangan tamu spesial yang tidak memungkinkanku untuk melaksanakan tarawih ataupun puasa pertama bahkan mungkin hingga hari ke tiga. Yah mau bagaimana lagi ini sudah kodratku sebagai seorang wanita. Hehehe. J

Berbicara bulan ramadhan, di keluargaku ada tradisi baca-baca. Biasalah kalau dalam masyarakat bugis, mungkin beberapa suku lain juga banyak yang melakukannya. Tradisi ini, menurut kata orang tuaku sudah berlangsung turun temurun. Kalau menurutku makna dari tradisi ini adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. atas perjumpaan dengan bulan suci ramadhan di tahun ini. Aku belum tahu pasti apa makna yang sebenarnya sih, itu baru kesimpulan pribadiku saja. Mungkin aku harus banyak kepoin mamaku dulu, supaya mengetahui lebih pasti dan lebih banyak mengenai hal ini.

Yang pasti dalam baca-baca itu ada masakan ayam dan nasi dari beras ketan yang disebut sokko. Yee makan ayam lagi. Kalau masalah makan ayam aku tidak pernah bosan, hehehe.

Ketika Aku Menjadi Batu

Ada hal lain yang begitu mengusikku sejak sore tadi. Hari ini masalah di kampus begitu kompleks. Bermasalah sama dosen yang dekat dengan kamu itu bukan perkara mudah loh. Inilah yang tengah menimpa kami (anak-anak Komunitas Media Pena). Karena beberapa penyebab yang sebenarnya kami tidak sengaja menyebabkan dosen pembimbing kami marah besar. Di luar berbagai alasan, aku akui kami memang salah. Kami tidak menepati waktu sesuai janji. Kesalahan yang tidak akan ditolerir dan sudah kami tahu sejak lama.

Selain itu aku juga tidak lulus pidato. Hei aku jelas protes. Perasaan waktu tampil suaraku cukup lantang menyampaikan pidatoku. Bahkan banyak yang lebih buruk penampilannya. Tapi sudahlah apa gunanya protes. Hari ini mungkin arisanku sedang jatuh hingga aku banyak ditimpa kemalangan.

Tapi bukan dua masalah itu yang aku risaukan. Menjadi batu. Mungkin itulah ungkapan yang tepat menjelaskan diriku saat ini. Tidak lulus pidato dan mendapat tugas tambahan untuk nilai final, ditambah lagi akibat dari masalah tadi kami pun diberi pilihan Ujian atau nilai E. Padahal sebelumnya nilai kami terjamin. Oh ampun ini kiamat...

Di tengah semua orang bersukacita menyambut bulan suci, aku ditimpa masalah secara beruntun. Sedih, kecewa dan kesal itu pasti. Tapi, ada yang aku bingungkan dengan diriku. Biasanya di saat seperti ini, air mataku pasti langsung keluar dengan derasnya. Aku ini orang yang paling sensitif. Gampang menangis, cengeng, mudah marah dan kecewa juga. Apalagi dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Tapi hari ini, aku menjelma menjadi batu. Ini bukan diriku yang di saat seperti ini tidak mengeluarkan setetes air mata pun.

Hal ini sangat menggangguku. Di senja yang berawan, saat aku dan Eby duduk di deker di ujung lorong. Kami merenungi apa yang terjadi hari ini. Eby berurai air mata, sementara aku di sampingnya sibuk memikirkan kenapa aku tidak menangis seperti biasa. Padahal akulah orang yang paling cengeng dari semua orang yang aku kenal. Rasanya hatiku seperti membeku. Padahal biasanya juga kalau ada orang menangis aku pasti akan tersentuh dan ikutan menangis.

Semakin memikirkan aku semakin tak merasa sedih, menyesal iya tapi hanya sebatas itu. Padahal ini menyangkut masalah ke depannya, tentang buku, dan juga nilai. Tapi kok aku biasa saja.

Padahal di semester satu dulu, aku pernah disuruh keluar sama dosen karena aku tidak bisa mengulang jawaban teman sekelasku. Aku menangis.

Semester dua, tugas finalku yang sudah aku kumpulkan kepada ketua kelas dicuri sama teman sekelasku yang tidak mengerjakan tugas dan dia hendak mengganti namaku dalam tugas tersebut. Namun untungnya tugasku kembali tanpa kurang suatu apapun isinya. Aku juga menangis dan memarah-marahi ketua kelas yang aku anggap tidak becus menjaga tugas yang sudah aku kumpulkan.

Semester tiga, aku pun menjadi satu-satunya yang menangis saat kami dikatai “hidup kelam” karena membuat suatu karya yang mungkin tak pernah disangka oleh banyak orang sebelumnya. Hal biasalah kalau kita berkarya pasti ada saja orang yang tidak suka. Saat itu aku sangat kesal sehingga tak mampu menahan air mata.

Tapi hari ini, perasaan ingin menangis saja tidak ada. Ada apa dengan diriku? Apa ini efek dari sakit flu yang sudah satu minggu aku alami? Yang jelas aku merasa biasa saja. Walaupun tetap ada rasa kekhawatiran dan ingin mempebaiki keadaan ini pastinya.

Kenapa aku tidak menangis? Aah... sudahlah aku malas memusingkannya lagi. Mungkin sindrom cengengku hari ini sedang hilang dan air mataku sedang malas menetes. Hatiku mungkin juga sudah kebal karena terlalu sering menghadapi hal-hal semacam ini. Berharap saja masalah ini cepat selesai agar aku bisa menjalani puasa dengan tenang.

Kayaknya pembahasanku kali ini sudah sangat panjang. Aku tahu sejak tadi kau sudah bosan membacanya. Jadi aku akhiri cukup sampai di sini. Selamat menunaikan ibadah puasa dan semoga segala amal ibadah kita di bulan ramadhan ini dapat diterima oleh Allah SWT. Tak lupa, aku memohon maaf jika dalam tulisan ini terdapat salah-salah kata dll. Karena aku pun hanyalah manusia biasa yang tak sempurna dan tak luput dari dosa. J

Wassalam....


Senin, 01 Juni 2015

Malam Nisfu Sya’ban dan 1 Juni

Sedari tadi aku sibuk bergelut dengan laptop. Mataku menatap layar laptop yang sudah sangat membosankan ini namun aku tak bisa lepas darinya. Sementara jari-jariku menari di atas keyboard dengan anggun (sedikit lebay). Sesekali aku menengok handphone dan membalas BBM teman.

Awalnya aku mengedit tulisan dan memasukkannya di blog, juga membaca tulisan-tulisanku sebelumnya. Ternyata sudah lumayan banyak perubahan cara menulisku hehe. Setelah itu aku membuat konsep untuk tugas promosi dan periklanan. Terakhir aku membuka file foto-foto, niatnya untuk mencari foto yang bagus untuk ditampilkan di video tugasku nanti. Tapi aku malah asyik melihat foto-foto tersebut dan sibuk membayangkan moment-moment dalam foto itu. Sesekali senyum terukir di wajahku.

Di BBM banyak yang ramai-ramai memasang foto ataupun membuat status mengenai malam Nisfu Sya’ban yang jatuh pada hari ini. Juga di media sosial lainnya, banyak yang mengucap maaf dan semacamnya. Entah mengapa aku paling malas ikut-ikutan melakukan hal serupa. Bukan karena tidak antusias dengan makna di baliknya. Hanya saja aku tidak mau melakukan sesuatu hal karena ikut-ikutan dengan orang lain atau karena banyak orang yang melakukannya.

Sama halnya dengan 1 Juni yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Aku juga tidak meng-update status di akun media sosialku mengenai hari ini dengan mengucapkan selamat hari ulang tahun Pancasila, atau kalimat sejenisnya seperti yang banyak dilakukan orang-orang. Begitu juga dengan hari-hari besar lainnya. 

Menurutku buat apa kita meng-update status mengenai suatu hari? Apa hanya untuk sekedar ikut-ikutan, atau supaya dibilang tidak kudet? Entah karena apapun itu, yang dipertanyakan justru apa yang telah kita lakukan untuk hari ini? Bagaimana cara kita memaknainya. Tidak salah sih, kalau orang-orang lain melakukan hal tersebut, karena setiap orang memiliki prinsip dan pendapat masing-masing. Meramaikan media sosial kan tidak ada salahnya. Apalagi kalau bisa menjadi trending topic.

Di sini aku hanya menuliskan pendapat pribadiku. Aku juga belum tentu benar. Pengetahuanku juga masih terlalu dangkal. Aku pun tak menyalahkan orang-orang yang melakukan hal-hal seperti di atas. Hanya untuk menjadikan bahan renungaku saja.***


#justsay

Reuni Sosial Media

Media sosial saat ini memang sudah menjadi sebuah kebutuhan baru di masyarakat. Tidak terkecuali denganku. Tidak menggunakan sosial media dalam sehari itu pasti rasanya ada yang kurang. Apalagi buat orang-orang yang single sepertiku hehehe…. Karena dengan adanya media sosial seperti BBM, facebook, twitter, line, instagram, dan sebagainya kita bisa berkomunikasi dengan teman tanpa ada batasan jarak dan waktu. Media sosial pun menjadi hiburan tersendiri buatku.

Aku memang baru beberapa minggu terakhir ini sangat aktif di media sosial. Biasanya hanya sekali-sekali. Mungkin karena sedang berusaha move on dan sedang mencari hiburan. Tapi, ada yang berbeda dengan hari ini. Hari ini aku reunian bareng teman-teman SD-ku di BBM (Cah gaya amat reunian, padahal cuma BBM-an doang J). Waah seru banget bisa chating-an sama mereka. Awalnya hanya aku, Ratih dan Achir yang aktif dan bergabung di obrolan. Itupun Achir hanya sekali-sekali menyumbang suara. Aku sama Ratih berdebat soal kapan kita ngumpul dan liburan bareng ke pulau Senja. Soalnya sekarang-sekarang ini tugas lagi numpuk dan sebentar lagi final. Obrolan pun beralih ke soal puisi, dan tidak lama Hadra dan Ummu bergabung. Diskusi kami semakin seru, walaupun hanya kami berlima. Apalagi waktu Achir bilang hanya  dia sendiri yang cowok di obrolan. “ Biar mi Chir, kita borongi kamu di sini,” komentar Ummu. Ratih juga balas, katanya mau undang Ikram dan Ikbal gabung ke obrolan supaya Achir ada teman cowoknya.

“Habis juga saya diborongi di sini,” Achir

Ide jahil pun langsung terlintas di otakku. “Achir, kamu yang paling cantik di sini,” kataku.

“Hahaha.”  Balas Achir.

“Hahaha.” Balas Ummu

“Cantik tapi cucok.” Balas Hadra

“Pak polisi cantik toh?” Aku menimpali lagi

Di balas tawa oleh yang lain. Hingga aku berujar “Kurang seru karena tidak ada si Endut.” (Yang aku maksud di sini itu adalah Ainil, sobat kami yang… gitulah hehe pisss)

Ummu pun bertanya gimana kabarnya Ainil. “ Dia lagi stress, banyak tugasnya. Tahun depan sudah mau wisuda, dia sudah disuruh buat skripsi sekarang” jawabku asal

Ummu, Hadra, dan Ratih ternyata menanggapiku serius. Padahalkan aku hanya bercanda, hehehe… Aku pun menjelaskan kalau itu hanya tugas Ainil di mata kuliah penelitian. Setelah beberapa saat, obrolan seru itupun mulai hening. Satu persatu mulai hilang teks-nya, ditelan kesibukan masing-masing. Aku juga sudah asyik di dunia nyataku yang sedang latihan menulis berita di kantor Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Kendari. Entahlah mereka, di lain tempat sana.

Selesai Mahgrib, aku BBM Ratih, aku meminta dia membaca tulisanku di blog. Kami juga sempat curhat-curhatan sedikit tentang “pacaran” dan keenggananku melakukannya lagi. Yah jadi ingat lagi kan, tapi tenang saja aku sudah tidak segalau itu. Setelah itu aku buka Line. Ratih sudah membuat grup untuk kami. Tapi anggotanya baru aku sama Achir. Aku pun menambahkan Achir ke dalam kontakku. Kemudian aku meng-upload  2 foto lama kami waktu lagi ngumpul-ngumpul di rumahnya Sri. “Ahaha haruskah kamu upload ini barang?” komentar Ratih.

“ Hehehe, masih ada yang lain. Saya upload lagi nah?” Ujarku.

Kemudian aku membuka galeri dan memilih-milih foto-foto kami. Ada satu foto di mana saat itu Ratih tidak mengenakan hijab. Foto itu diambil dua tahun lalu saat kami sedang masiara di rumahnya Ratih. Tanpa pikir panjang dan menimbang-nimbang dampaknya aku langsung mengupload foto tersebut. Juga foto Ratih yang sedang tidak sadar kalau aku memotretnya saat ngumpul bareng di rumahnya Sri. Tindakan yang pastinya segera aku sesali.

Ratih marah besar rupanya, akibat foto tersebut. Dia langsung menghapus Achir dari grup dan mengomeliku habis-habisan. Tidak mau memperpanjang masalah aku segera menghapus dua foto tersebut. Tapi Ratih sudah terlanjur kebakaran jenggot. Meskipun aku sudah minta maaf berkali-kali, tampaknya dia tidak peduli. Dia malah meng-update status di BBM tentang aku yang menyebarkan foto jeleknya. Tidak hanya itu, dia juga melampiaskan kemarahannya lewat facebook dan meng-screen shot statusnya tersebut dan dijadikan foto DP BBM-nya.

Aku pun keringat dingin. Tidak menyangka kejahilanku ternyata berdampak besar seperti ini. Rasa bersalah juga menyergapku. Kenapa aku terlalu bodoh melakukan hal tersebut. Aaah… ternyata Ratih segitu marahnya dengan kelakuanku. Padahal baru saja kita tertawa bersama, curhat bareng, baru saja aku senyum-senyum jahil, dan sekarang…. Aku yang dari sono-nya sudah cengeng jadi mewek. Inilah akibat dari kejahilanku yang sangat aku sesalkan.

Aku pun BBM Ratih, meminta maaf atas kekhilafanku tadi. Tak ada respon. Aku juga update status di BBM dengan ucapan permohonan maaf kepada Ratih. Malu, menyesal, rasa bersalah bercampur aduk dalam benakku. “Aku sudah merusak hari yang seharusnya berlalu dengan indah ini,” gumamku. Aku kembali BBM Ratih, mengucap maaf, mengakui kesalahan dan berkata bahwa tidak ada bedanya dia dengan diriku. Karena dia sudah menyebarkan kejelekanku ke semua orang dengan meng-update status di facebook dan dijadikan foto DP di BBM. Sekali lagi aku meminta maaf dan menyesali semuanya.

Ternyata kata-kataku dapat meluluhkan hati Ratih. Dia yang tadinya me-read BBM-ku saja tidak sekarang jadi membalas dengan kata iya. Tapi aku terus-terusan meminta maaf. Secara aku benar-benar tidak enak sama dia. Tapi dengan besar hati Ratih mau memaafkanku dan aku berjanji hal seperti ini tidak akan terulang lagi. Yang benar saja, kita sudah jarang bertemu masa harus berantem lagi. Kekanak-kanakan banget kan yah? Hehehe….

Yang jelas hal ini memberikan pelajaran berharga buatku untuk lebih berhati-hati lagi dalam berbicara maupun meng-upload foto dan update status di media sosial. Agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Apalagi yang prinsipil sekali bagi orang lain. Teman-teman, kapan kita bertemu dan reunian di dunia nyata. Ngobrol, bercanda, dan berantem sepuasnya dengan suara dan mata. Bukan hanya dengan teks.

Senin, 1 Juni 2015

Salam rindu buat kalian teman-temanku alumni SDN 18 Baruga tahun 2007 J