Hari ini, aku sebenarnya tidak tahu mau menulis apa.
Tapi karena sedang mendisiplinkan diri untuk menulis tiap hari selama bulan
puasa, aku pun harus memaksakan otakku berpikir keras mencari ide apa yang akan
aku tulis hari ini. Karena tidak ada ide lain yang nyantol di pikiranku. Dan
sejak siang tadi aku tertarik untuk menulis tentang orang ini.
Eby. Kalau membaca atau mendengar nama ini pasti
yang terlintas di kepalamu adalah udang-udang kecil yang dikeringkan. Eiits,
sebelum imajinasi liarmu itu kemana-mana, Eby yang aku maksud di sini bukan Eby
seperti yang kamu bayangkan. Sudah beberapa kali nama ini terlampir di beberapa
tulisanku sebelumnya. Eby adalah gadis aquarius yang sangat menyukai perahu.
Dia juga adalah seorang penulis yang jam terbangnya bisa dibilang sudah lebih
tinggi daripada aku. Kalau tidak percaya bisa buka blognya
radareby.blogspot.com.
Ada loh orang yang mengira kalau aku dan Eby itu
kembar. Banyak juga yang bilang kami berdua mirip. Mirip dari mananya coba? Aku
sendiri bingung kenapa banyak orang yang berpikir begitu. Jangan-jangan Eby
juga merasa terganggu kalau dibilang mirip aku. Secara di lihat dari sudut mana
pun juga sangat jelas perbedaan di antara kami. Sifat dan karakter apalagi, sangat
bertolak belakang.
Selain sebagai seorang teman, Eby bisa dibilang
salah satu motivator dalam hal menulis buatku. Aku belajar banyak hal tentang
tulis menulis dari dia. Eby jugalah yang sering mengedit dan memberikan saran
untuk tulisan-tulisanku.
Penggemar Dee Lestari ini adalah cewek pendiam yang
sangat anti berbicara di depan umum. Berteman dengannya, mambuat aku jadi
ketularan mengoleksi buku-buku. Kalau soal membaca, aku memang sangat suka
membaca dari dulu tapi jarang membeli buku dan lebih sering pinjam punya teman
atau di perpustakaan sekolah. Tapi setelah mengenal Eby rasa sukaku makin
bertambah dan membuatku jadi kolektor buku-buku juga. Walaupun buku-buku Eby
masih lebih banyak daripada aku. Hehehe.
Berbicara soal menulis, aku tertarik pada dunia ini
sejak kelas dua SMP. Tapi sampai masuk kuliah, cerpen yang selesai aku buat itu
hanya satu. Itu pun karena tugas di pelajaran Bahasa Indonesia. Tulisanku yang
lain tak pernah mencapai ending. Hanya
ada beberapa tulisanku yang berbentuk puisi. Itu pun hanya ungkapan-ungkapan
kegalauanku saja.
Setelah bertemu Eby, aku merasa iri padanya (irinya
yang positif loh, bukan negatif). Dia memiliki semangat dan motivasi yang
tinggi dalam menulis. Sejak tertarik menulis kelas dua SMA dia sudah membuat
banyak karya dalam bentuk cerpen. Eby juga aktif menulis tiap hari.
Dari Eby-lah aku jadi berpikir, kenapa aku tidak
bisa seperti dia. Aku juga bisa menulis kok. Dia juga selalu memberiku semangat
dan selalu mengingatkanku untuk terus menulis. Walau mungkin dia juga sudah
lelah, karena aku semangatnya datang-datangan.
Aku memang memiliki banyak motivasi untuk menulis.
Apalagi setelah membaca novel trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Tapi
virus malas selalu saja menjangkitiku. Kau tahu kan rasanya kalau virus ini
sudah menyerangmu? Bahkan segunung ide yang ada di otakku bisa terhapus begitu
saja akibat virus ini.
Namun aku sadar, walau bagaimanapun orang lain
memberikan dukungan dan semangat kalau bukan aku sendiri yang memotivasi
diriku, aku takkan pernah maju. Tidak berkembang dan jauh tertinggal dari orang
lain. Dan aku tidak ingin seperti itu, aku ingin maju dan menjadi lebih baik
lagi.
Menulis bukanlah hal yang rumit. Berulang kali
dosenku mengingatkan, “kalau mau jadi penulis yang perlu kau lakukan hanya
menulis, menulis, dan menulis.” Sesederhana itu. Tampak gampang walau dalam
realitanya sangat sulit. Apalagi untuk memulai. Memang harus ada motivasi dan
keinginan kuat dari dalam diri sendiri agar menulis bisa aku lakukan.
Setidaknya aku sudah berada di taraf memulai dan membiasakan
diri menulis. Apalagi di bulan suci ramadhan ini, libur pula. Aku harus bisa
memanfaatkan waktuku untuk menulis.
Kembali ke Eby, kami pernah membeli sebuah buku
kumpulan cerpen saat festival TBM (taman Baca Masyarakat) tahun lalu. Karena
kebetulan ada salah satu penulisnya kami pun meminta tanda tangan. Ada catatan
kecil setelah tanda tangannya, “Buat Wulan Supiani, Semoga jadi penulis
saingannya Ebi”. Begitulah isi catatan kecil itu tanpa aku kurangi atau
lebihkan.
Kata-kata dari kakak ini sebenarnya sangat
menohokku, setiap kali aku membacanya. Bagaimana bisa aku jadi saingannya Eby
kalau aku saja malas sekali menulis. Berbanding terbalik dengan Eby yang
seperti sudah aku jelaskan di atas. Yang lebih penting lagi, aku tidak ingin
menjadi saingannya Eby. Karena bagiku tidak
ada persaingan di antar kami. Aku bahkan lebih banyak belajar dari eby.
Kata-kata saingan mungkin tidak tepat. Tapi bisa
berguna untuk menyulutkan semangatku untuk bisa seperti Eby atau bahkan
melebihinya. Amin. Tapi aku yakin Eby tidak akan rela dan tidak akan membiarkan
aku bisa melebihinya. Hehehe.
Seperti persahabatan Alif dan Randai di novel trilogi
Negeri 5 Menara. Persahabatan yang penuh dengan persaingan tapi membawa pada
kesuksesan. Karena dengan saling menantang semangat mereka jadi terpacu dua
kali lipat untuk membuktikan siapa yang lebih baik dari mereka.
Kalau aku, bukan mengejar siapa yang lebih baik.
Tapi bagaimana aku bisa membuktikan kepada diriku sendiri kalau aku juga mampu.
Bagaimanapun aku tetap berterimakaih sama Eby, karena dia juga sudah sangat banyak
membatuku dalam menulis. Tanpa dukungan Eby, tulisan ini pun mungkin takkan
pernah ada. Yah semoga saja Eby tidak kapok men-suport aku untuk terus menulis.
*Terimakasih kaka Eby J
Terharu sy baca bela...
BalasHapusKayaknya berat sekali itu judul :')
Thanks Wulan. Semangat menulisnya :-)
hehe siip Eby, lagi berusaha rutin tiap hari :)
BalasHapus