Kamis, 18 Juni 2015

Sang Motivator

Hari ini, aku sebenarnya tidak tahu mau menulis apa. Tapi karena sedang mendisiplinkan diri untuk menulis tiap hari selama bulan puasa, aku pun harus memaksakan otakku berpikir keras mencari ide apa yang akan aku tulis hari ini. Karena tidak ada ide lain yang nyantol di pikiranku. Dan sejak siang tadi aku tertarik untuk menulis tentang orang ini.

Eby. Kalau membaca atau mendengar nama ini pasti yang terlintas di kepalamu adalah udang-udang kecil yang dikeringkan. Eiits, sebelum imajinasi liarmu itu kemana-mana, Eby yang aku maksud di sini bukan Eby seperti yang kamu bayangkan. Sudah beberapa kali nama ini terlampir di beberapa tulisanku sebelumnya. Eby adalah gadis aquarius yang sangat menyukai perahu. Dia juga adalah seorang penulis yang jam terbangnya bisa dibilang sudah lebih tinggi daripada aku. Kalau tidak percaya bisa buka blognya radareby.blogspot.com.

Ada loh orang yang mengira kalau aku dan Eby itu kembar. Banyak juga yang bilang kami berdua mirip. Mirip dari mananya coba? Aku sendiri bingung kenapa banyak orang yang berpikir begitu. Jangan-jangan Eby juga merasa terganggu kalau dibilang mirip aku. Secara di lihat dari sudut mana pun juga sangat jelas perbedaan di antara kami. Sifat dan karakter apalagi, sangat bertolak belakang.

Selain sebagai seorang teman, Eby bisa dibilang salah satu motivator dalam hal menulis buatku. Aku belajar banyak hal tentang tulis menulis dari dia. Eby jugalah yang sering mengedit dan memberikan saran untuk tulisan-tulisanku.

Penggemar Dee Lestari ini adalah cewek pendiam yang sangat anti berbicara di depan umum. Berteman dengannya, mambuat aku jadi ketularan mengoleksi buku-buku. Kalau soal membaca, aku memang sangat suka membaca dari dulu tapi jarang membeli buku dan lebih sering pinjam punya teman atau di perpustakaan sekolah. Tapi setelah mengenal Eby rasa sukaku makin bertambah dan membuatku jadi kolektor buku-buku juga. Walaupun buku-buku Eby masih lebih banyak daripada aku. Hehehe.

Berbicara soal menulis, aku tertarik pada dunia ini sejak kelas dua SMP. Tapi sampai masuk kuliah, cerpen yang selesai aku buat itu hanya satu. Itu pun karena tugas di pelajaran Bahasa Indonesia. Tulisanku yang lain tak pernah mencapai ending. Hanya ada beberapa tulisanku yang berbentuk puisi. Itu pun hanya ungkapan-ungkapan kegalauanku saja.

Setelah bertemu Eby, aku merasa iri padanya (irinya yang positif loh, bukan negatif). Dia memiliki semangat dan motivasi yang tinggi dalam menulis. Sejak tertarik menulis kelas dua SMA dia sudah membuat banyak karya dalam bentuk cerpen. Eby juga aktif menulis tiap hari.

Dari Eby-lah aku jadi berpikir, kenapa aku tidak bisa seperti dia. Aku juga bisa menulis kok. Dia juga selalu memberiku semangat dan selalu mengingatkanku untuk terus menulis. Walau mungkin dia juga sudah lelah, karena aku semangatnya datang-datangan.

Aku memang memiliki banyak motivasi untuk menulis. Apalagi setelah membaca novel trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Tapi virus malas selalu saja menjangkitiku. Kau tahu kan rasanya kalau virus ini sudah menyerangmu? Bahkan segunung ide yang ada di otakku bisa terhapus begitu saja akibat virus ini.

Namun aku sadar, walau bagaimanapun orang lain memberikan dukungan dan semangat kalau bukan aku sendiri yang memotivasi diriku, aku takkan pernah maju. Tidak berkembang dan jauh tertinggal dari orang lain. Dan aku tidak ingin seperti itu, aku ingin maju dan menjadi lebih baik lagi.

Menulis bukanlah hal yang rumit. Berulang kali dosenku mengingatkan, “kalau mau jadi penulis yang perlu kau lakukan hanya menulis, menulis, dan menulis.” Sesederhana itu. Tampak gampang walau dalam realitanya sangat sulit. Apalagi untuk memulai. Memang harus ada motivasi dan keinginan kuat dari dalam diri sendiri agar menulis bisa aku lakukan.

Setidaknya aku sudah berada di taraf memulai dan membiasakan diri menulis. Apalagi di bulan suci ramadhan ini, libur pula. Aku harus bisa memanfaatkan waktuku untuk menulis.

Kembali ke Eby, kami pernah membeli sebuah buku kumpulan cerpen saat festival TBM (taman Baca Masyarakat) tahun lalu. Karena kebetulan ada salah satu penulisnya kami pun meminta tanda tangan. Ada catatan kecil setelah tanda tangannya, “Buat Wulan Supiani, Semoga jadi penulis saingannya Ebi”. Begitulah isi catatan kecil itu tanpa aku kurangi atau lebihkan.

Kata-kata dari kakak ini sebenarnya sangat menohokku, setiap kali aku membacanya. Bagaimana bisa aku jadi saingannya Eby kalau aku saja malas sekali menulis. Berbanding terbalik dengan Eby yang seperti sudah aku jelaskan di atas. Yang lebih penting lagi, aku tidak ingin menjadi saingannya Eby. Karena bagiku  tidak ada persaingan di antar kami. Aku bahkan lebih banyak belajar dari eby.

Kata-kata saingan mungkin tidak tepat. Tapi bisa berguna untuk menyulutkan semangatku untuk bisa seperti Eby atau bahkan melebihinya. Amin. Tapi aku yakin Eby tidak akan rela dan tidak akan membiarkan aku bisa melebihinya. Hehehe.

Seperti persahabatan Alif dan Randai di novel trilogi Negeri 5 Menara. Persahabatan yang penuh dengan persaingan tapi membawa pada kesuksesan. Karena dengan saling menantang semangat mereka jadi terpacu dua kali lipat untuk membuktikan siapa yang lebih baik dari mereka.

Kalau aku, bukan mengejar siapa yang lebih baik. Tapi bagaimana aku bisa membuktikan kepada diriku sendiri kalau aku juga mampu. Bagaimanapun aku tetap berterimakaih sama Eby, karena dia juga sudah sangat banyak membatuku dalam menulis. Tanpa dukungan Eby, tulisan ini pun mungkin takkan pernah ada. Yah semoga saja Eby tidak kapok men-suport aku untuk terus menulis.


*Terimakasih kaka Eby J


2 komentar:

  1. Terharu sy baca bela...
    Kayaknya berat sekali itu judul :')
    Thanks Wulan. Semangat menulisnya :-)

    BalasHapus
  2. hehe siip Eby, lagi berusaha rutin tiap hari :)

    BalasHapus