Ucapan marhaban ya ramadhan sudah sejak beberapa
hari yang lalu bertebaran di berbagai media
sosial. Tampak begitu bersuka cita bulan suci ini disambut. Entah mereka
semua yang mengucapkan benar-benar berbahagia menyambut bulan Ramadan ini atau
hanya sekadar ikut-ikutan ataupun hanya menyemarakkan penyambutan bulan
ramadhan di dunia maya saja, dan di dunia nyata tampak biasa saja. Entahlah. Wallahu a’lam bish-shawab. Saya diajarkan
untuk skeptis dalam menyikapi suatu hal, namun agama juga mengajarkan kita
untuk berbaik sangka kepada siapa pun.
Aku sendiri? Aah tahun ini aku tak begitu antusias
menyambut bulan suci ini. Bukan. Bukan aku tidak bahagia berjumpa kembali
dengan bulan yang penuh berkah ini. Bahkan aku telah menyusun jadwal untuk
kegiatanku sehari-hari dan apa saja yang akan aku lakukan dalam sebulan ini.
Tapi sejak beberapa hari yang lalu aku sudah kedatangan tamu spesial yang tidak
memungkinkanku untuk melaksanakan tarawih ataupun puasa pertama bahkan mungkin
hingga hari ke tiga. Yah mau bagaimana lagi ini sudah kodratku sebagai seorang
wanita. Hehehe. J
Berbicara bulan ramadhan, di keluargaku ada tradisi baca-baca. Biasalah kalau dalam
masyarakat bugis, mungkin beberapa suku lain juga banyak yang melakukannya. Tradisi
ini, menurut kata orang tuaku sudah berlangsung turun temurun. Kalau menurutku
makna dari tradisi ini adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. atas
perjumpaan dengan bulan suci ramadhan di tahun ini. Aku belum tahu pasti apa
makna yang sebenarnya sih, itu baru kesimpulan pribadiku saja. Mungkin aku harus
banyak kepoin mamaku dulu, supaya mengetahui lebih pasti dan lebih banyak
mengenai hal ini.
Yang pasti dalam baca-baca
itu ada masakan ayam dan nasi dari beras ketan yang disebut sokko. Yee makan ayam lagi. Kalau
masalah makan ayam aku tidak pernah bosan, hehehe.
Ketika Aku
Menjadi Batu
Ada hal lain yang begitu mengusikku sejak sore tadi.
Hari ini masalah di kampus begitu kompleks. Bermasalah sama dosen yang dekat
dengan kamu itu bukan perkara mudah loh. Inilah yang tengah menimpa kami
(anak-anak Komunitas Media Pena). Karena beberapa penyebab yang sebenarnya kami
tidak sengaja menyebabkan dosen pembimbing kami marah besar. Di luar berbagai
alasan, aku akui kami memang salah. Kami tidak menepati waktu sesuai janji.
Kesalahan yang tidak akan ditolerir dan sudah kami tahu sejak lama.
Selain itu aku juga tidak lulus pidato. Hei aku
jelas protes. Perasaan waktu tampil suaraku cukup lantang menyampaikan
pidatoku. Bahkan banyak yang lebih buruk penampilannya. Tapi sudahlah apa
gunanya protes. Hari ini mungkin arisanku sedang jatuh hingga aku banyak
ditimpa kemalangan.
Tapi bukan dua masalah itu yang aku risaukan. Menjadi batu. Mungkin itulah ungkapan yang tepat menjelaskan diriku saat
ini. Tidak lulus pidato dan mendapat tugas tambahan untuk nilai final, ditambah
lagi akibat dari masalah tadi kami pun diberi pilihan Ujian atau nilai E.
Padahal sebelumnya nilai kami terjamin. Oh ampun ini kiamat...
Di tengah semua orang bersukacita menyambut bulan
suci, aku ditimpa masalah secara beruntun. Sedih, kecewa dan kesal itu pasti.
Tapi, ada yang aku bingungkan dengan diriku. Biasanya di saat seperti ini, air
mataku pasti langsung keluar dengan derasnya. Aku ini orang yang paling sensitif.
Gampang menangis, cengeng, mudah marah dan kecewa juga. Apalagi dalam keadaan
yang sangat tidak menguntungkan. Tapi hari ini, aku menjelma menjadi batu. Ini
bukan diriku yang di saat seperti ini tidak mengeluarkan setetes air mata pun.
Hal ini sangat menggangguku. Di senja yang berawan,
saat aku dan Eby duduk di deker di ujung lorong. Kami merenungi apa yang
terjadi hari ini. Eby berurai air mata, sementara aku di sampingnya sibuk
memikirkan kenapa aku tidak menangis seperti biasa. Padahal akulah orang yang
paling cengeng dari semua orang yang aku kenal. Rasanya hatiku seperti membeku.
Padahal biasanya juga kalau ada orang menangis aku pasti akan tersentuh dan
ikutan menangis.
Semakin memikirkan aku semakin tak merasa sedih,
menyesal iya tapi hanya sebatas itu. Padahal ini menyangkut masalah ke
depannya, tentang buku, dan juga nilai. Tapi kok aku biasa saja.
Padahal di semester satu dulu, aku pernah disuruh
keluar sama dosen karena aku tidak bisa mengulang jawaban teman sekelasku. Aku
menangis.
Semester dua, tugas finalku yang sudah aku kumpulkan
kepada ketua kelas dicuri sama teman sekelasku yang tidak mengerjakan tugas dan
dia hendak mengganti namaku dalam tugas tersebut. Namun untungnya tugasku
kembali tanpa kurang suatu apapun isinya. Aku juga menangis dan memarah-marahi
ketua kelas yang aku anggap tidak becus menjaga tugas yang sudah aku kumpulkan.
Semester tiga, aku pun menjadi satu-satunya yang
menangis saat kami dikatai “hidup kelam” karena membuat suatu karya yang mungkin
tak pernah disangka oleh banyak orang sebelumnya. Hal biasalah kalau kita
berkarya pasti ada saja orang yang tidak suka. Saat itu aku sangat kesal
sehingga tak mampu menahan air mata.
Tapi hari ini, perasaan ingin menangis saja tidak
ada. Ada apa dengan diriku? Apa ini efek dari sakit flu yang sudah satu minggu
aku alami? Yang jelas aku merasa biasa saja. Walaupun tetap ada rasa
kekhawatiran dan ingin mempebaiki keadaan ini pastinya.
Kenapa aku tidak menangis? Aah... sudahlah aku malas
memusingkannya lagi. Mungkin sindrom cengengku hari ini sedang hilang dan air
mataku sedang malas menetes. Hatiku mungkin juga sudah kebal karena terlalu
sering menghadapi hal-hal semacam ini. Berharap saja masalah ini cepat selesai
agar aku bisa menjalani puasa dengan tenang.
Kayaknya pembahasanku kali ini sudah sangat panjang.
Aku tahu sejak tadi kau sudah bosan membacanya. Jadi aku akhiri cukup sampai di
sini. Selamat menunaikan ibadah puasa dan semoga segala amal ibadah kita di
bulan ramadhan ini dapat diterima oleh Allah SWT. Tak lupa, aku memohon maaf jika
dalam tulisan ini terdapat salah-salah kata dll. Karena aku pun hanyalah manusia biasa yang tak sempurna dan tak luput dari dosa. J
Wassalam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar