Senin, 16 Februari 2015

Puisi

Dita adalah seorang gadis biasa. Dia tidak suka keramaian dan menjadi pusat perhatian orang. Dia lebih suka ke tempat yang sepi dan menyendiri disaat orang lain sedang berkumpul. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan membaca buku, daripada nongkrong di kantin bersama teman-teman. Dia lebih memilih diam disaat orang lain berbicara. Pendiam, tertutup, dan kuper. Karena itulah tidak banyak yang mau berteman dengannya. Tapi Dita tidak pernah merasa sepi dan sendirian. Karena buku dan sunyi adalah temannya.

Seperti biasa saat jam istirahat tiba Dita akan melangkahkan kakinya ke perpustakaan dengan menenteng sebuah buku yang tebalnya sekitar 500 halaman. “Mau pinjam buku lagi Dita?” sapa penjaga perpustakaan yang sudah mengenal Dita sebagai pengunjung tetap di perpustakaan.

“Tidak Bu, hanya mau numpang baca saja.” Jawab Dita dengan senyum ramah lalu berjalan menuju bangku yang biasa ia tempati.

Saat Dita baru saja duduk tiba-tiba, terdengar suara teriakan dari bawah meja. “Aaaaaaaaaa…” Kaget Dita langsung menoleh kearah suara tersebut. Di sana dia mendapati seorang cowok sedang meringis kesakitan.  

“ Kamu kenapa?” tanyanya polos.
Cowok itu tidak menjawab hanya tangan kirinya yang bergerak menunjuk kaki Dita yang menginjak jari tangan kanannya.

“Oh sorry, sorry“ Kata Dita sambil memindahkan kakinya yang menginjak jari cowok itu. Kemudian Dita membantu cowok itu keluar dari kolong meja.

“Tidak papa, aku yang salah tidur di kolong meja.” kata cowok itu. Dita hanya tersenyum lalu beranjak pergi, tapi cowok itu menarik lengannya “Tunggu”. Dita berbalik dan pandangan mereka beradu sesaat. “Anandita Yuliana” ucap cowok itu membaca papan nama Dita. Kemudian matanya beralih ke tangan Dita yang memegang sebuah buku. “Kamu suka baca buku disini?” Dita hanya diam dan menarik lengannya yang masih dipegang cowok itu. Kemudian melangkah untuk pergi. Baru beberapa langkah, Dita mendengar suara cowok itu lagi. “Kamu tidak tahu siapa aku?” Dita menghentikan langkahnya dan berbalik menatap cowok itu. Dia belum pernah melihat cowok itu sebelumnya.

“Memangnya kamu siapa” seiring pertanyaan itu keluar dari mulut Dita bel tanda istirahat selesai berbunyi. Ditapun langsung pergi meninggalkan cowok itu yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

Siang itu Dita sedang berjalan menuju perpustakaan. Saat melewati lapangan, Dita menghentikan langkahnya. Dia melihat cowok yang kemarin ditemuinya di perpustakaan. Cowok itu sedang bermain basket bersama beberapa orang. Tampak dia sedang berlari dan memutar tubuhnya menghindar dari lawan dengan sesekali memantulkan bola ke tanah. Kemudian dengan santai melempar bola itu ke ring. Bola itu sempat berputar-putar beberapa saat sebelum akhirnya masuk ke dalam ring dan terpantul di tanah. Tepuk tangan terdengar dari beberapa orang yang sedang menyaksikan di pinggir lapangan. Sementara cowok itu terlihat sedang tertawa sembari melakukan tos dengan dua temannya. Dita tersenyum menyaksikan pemandangan itu ,“Siapa sebenarnya dia?” ucap Dita lirih.

Dita adalah orang yang tidak suka dengan keramaian, sehingga Dita selalu berusaha datang sekolah sepagi mungkin. Selain itu ada hal yang selalu dia lakukan saat baru tiba di sekolah. Tapi sudah beberapa hari ini pikiran dita selalu terganggu oleh bayangan cowok itu. Cowok yang ditemuinya di perpustakaan. “ Siapa sebenarnya dia?” Pertanyaan itu selalu mengusik benaknya.

Dita terus berjalan menyusuri koridor sekolahnya dan  berhenti melangkah di depan mading. Matanya menatap petak kosong di mading itu. Tempat dia selalu menempelkan puisinya di pagi hari. Tapi, keesokan harinya puisi itu pasti tidak akan ditemuinya lagi ditempatnya. Dita menghembuskan nafas, lalu tangannya meraih sebuah kertas dari dalam tasnya. Saat dita hendak menempelkan kertas itu, tidak sengaja dia melihat sebuah artikel di sampingnya. Dengan gambar seorang cowok yang sedang memegang piala. Cowok yang akhir-akir ini mengganggu pikirannya. Untuk beberapa saat Dita memandang foto itu, kemudian matanya beralih kebagian bawah foto dan membaca artikelya.

“Namanya Reynand Aditia,” ucap Dita dalam hati. Dari artikel itu Dita tahu kalau cowok yang ternyata bernama Reynand Aditia itu adalah ketua osis di sekolahnya. “Jadi itu maksudnya.” Dita kembali memandang foto Reynand. “Dia tampan dan pintar,” ucapnya. Tatapan Dita lalu beralih pada kertas yang ada di tangannya. “Aku bukan siapa-siapa,” ucapnya lirih. Ditapun menempelkan puisinya di mading kemudian pergi tanpa menoleh lagi.

Dita tak menyadari ada sepasang mata di ujung koridor yang terus mengamatinya sejak tadi. Saat Dita melangkah pergi, cowok yang sedari tadi memperhatikannya menghampiri mading. Mata cowok itu tertuju pada kertas yang di tempel Dita. Di sudut kertas terdapat inisial AY. Lalu matanya beralih ke poster disamping puisi itu dimana wajahnya terpampang dengan jelas disana. Buru-buru dia mancabut puisi itu dan berlari mengejar Dita.

“AY…” Dita menghentikan langkahnya saat mendengar inisial namanya disebut oleh seseorang. Dita menoleh dan dilihatnya Reynand yang sedang berlari kearahnya. Dengan napas memburu reynand menghampiri Dita. “AY,” Ucap Reynand lagi. dahi Dita berkerut. Bingung melihat Reynand pagi-pagi begini mengejarnya sambil terus mengucapkan inisial namanya.

Seakan membaca kebingungan Dita, reynand mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya. Tentu saja dita langsung mengenali kertas-kertas itu. Kertas-kertas itu adalah puisi-puisinya yang selama ini ditempelkan di mading. Puisi yang tak pernah dilihatnya keesokan harinya. Dan ternyata ada pada Reynand. “AY… Anandita Yuliana” Reynand memecah kesunyian. “ Harusnya aku sudah menyadarinya” kini senyum terukir di wajah tampannya. Dita tidak sanggup untuk mengatakan sepatah katapun untuk menjelaskan perasaannya saat ini. Dia sangat bahagia…. ***



Wulan Supiani

Hujan

Hujan. Aku suka hujan. Tapi dia kadang menakutkan. Seperti malam ini hujan deras mengguyur disertai petir dan angin kencang. Membuatku takut dan hanya bisa meringkuk di balik selimut dengan bantal di atas kepala. Menutupi telinga agar yang terdengar hanya sayup-sayup derai hujan yang jatuh menimpa genting.

Hujan mengingatkanku padamu. Kau seperti hujan. Kadang membuatku jatuh cinta dan hanyut dalam derainya, menyebalkan dan bahkan kadang menakutkan. Membuatku tak berdaya. Tapi kalian memiliki satu perbedaan. Perbedaan yang begitu jauh.  Kau menghangatkanku sedangkan hujan membuatku kedinginan.

Tapi tak akan ada kehidupan tanpa hujan, seperti bumi tanpa matahari dan dunia tanpa udara. Karena unsur kehidupan adalah tanah, air, cahaya, dan udara. Jika salah satu tak ada. Keseimbangan akan hilang. Dan seluruh makhluk takkan dapat hidup. Namun, unsur kehidupanku adalah kamu. Kamu adalah tanah tempatku berpijak. Kamu adalah matahari cahaya penerang jiwaku, kamu adalah udara nafas hidupku dan kamu adalah air penyempurna hidupku. ***

Wulan Supiani

Waktu


Jarum jam terus berdetak. Waktu terus bergulir. Siang telah beranjak menuju senja. Namun, tak tampak semburat jingga di ufuk barat. Sebaliknya, awan gelap dan tebal memenuhi langit. Selang beberapa saat rintik mulai turun bersama angin yang membelai lembut, hingga membuat bulu kudukku meremang. Tak lama, rintik mulai berubah menjadi hujan yang semakin lama semakin deras. Tak ada kilat ataupun petir yang membuat suasana semakin mencekam. Hari pun mulai berganti malam. Meninggalkan aku yang masih mencoba untuk bersama masa lalu. Mencari puing kenangan agar tetap merasa hidup.

Kenangan. Sebuah moment yang walau hanya sedetik pun rasanya begitu berarti. Namun, begitu cepat terlewati. Karena tak ada waktu yang abadi. Detik demi detik berganti dan membuatku terdampar di waktu yang tak kukenali. Waktu di mana aku hanya dapat menjelajah masa lalu. Mencari kenangan.

Dalam gelap ditemani hujan yang tak berniat mengakhiri derasnya. Aku masih terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. Aah… hari ini pun akan segera berlalu dan ternyata waktu sudah terlalu jauh meninggalkanku.  

Bukankah Tuhan sudah berfirman, demi waktu dan manusia berada dalam kerugian? Lalu kemana aku akan mencari waktuku yang hilang? Tak terasa butiran bening jatuh dari sudut mataku. Menangislah jika itu dapat membuatmu lebih baik. Sebuah pepatah bijak mengingatkanku dan satu tetes itu berubah menjadi luapan rasa yang terpendam.

Sementara malam semakin larut, hujan pun tak berhenti menurunkan lebatnya. Aku ingin lelap dengan air mata ini, dengan sejuta kenangan ini. Berharap hujan dapat menghapus semua kenangan itu dan aku tetap hidup.

Cahaya itu menyilaukan, tak ada lagi awan tebal dan gelap. Ternyata sang mentari menyambutku. Ini mimpi dan aku tak ingin bangun lagi.***


 Wulan Supiani

14 februari 2014

Malam minggu di hari valentine yang tak istimewa, seperti biasanya…