Minggu, 16 Oktober 2016

Pulang Kampung


Sebenarnya saya bingung harus menulis  apa dan harus memulai dari mana, karena sudah sangat lama saya tidak menulis khususnya mengenai cerita sehari-hari, pengalaman ataupun pendapat pribadiku. Yaa setahun lebih saya tidak menulis. Rasanya seperti saya kehilangan sesuatu yang entah apa. Dan malam ini keinginan untuk menulis lagi menyeruak begitu besar di dalam hati dan fikiranku. Anggap saja hati dan fikiranku sedang connectJ.  Setelah merenung cukup lama, akhirnya saya menemukan ide untuk menuliskan pengalamanku saat liburan di kampung bulan Juli lalu.

Perjalanan
Pulang kampung memang sudah menjadi cerita yang tak ada habisnya. Sudah menjadi rutinitas dan tradisi tiap tahun saat libur lebaran. Tapi kepulanganku kali ini bukan di saat libur lebaran melainkan dua minggu setelah libur lebaran. Pasalnya kali ini saya berlibur sekalian menghadiri pernikahan sepupu di Makassar. Meskipun saya sudah sedikit lupa detail ceritanya, tapi sebelum melupakan semuanya saya ingin mengabadikan pengalaman itu dalam tulisan ini.

Jadi, berangkatlah saya, mama dan bapak saya dengan menumpangi bus “Bintang Selamat”. Dari Kendari kami menempuh perjalanan darat menuju pelabuhan Kolaka selama kurang lebih enam jam. Setelah itu naik kapal menuju pelabuhan Bajoe selama tujuh jam. Lalu perjalanan darat lagi menuju kampung halaman bapak saya di Lapri (Lappa Riaja), Kabupaten Bone.

Selama di perjalanan darat dari Kendari, rasanya saya tak ingin membiarkan mata ini terlelap. Saya sangat suka melihat pemandangan alam yang kami lalui. Apalagi saya duduk di depan di samping pak sopir. Puas rasanya bisa melihat pohon dan hutan yang masih alami dan tak terjamah di sepanjang jalan itu. Begitupun keindahan sawah yang bertingkat-tingkat memanjakan mata saat memasuki wilayah kabupaten Bone. Saya berusaha membayangkan, apakah dalam kurun waktu seratus atau dua ratus tahun ke depan pemandangan ini akan tetap sama? Ataukah pohon-pohon yang menjulang tinggi itu akan berubah menjadi gedung-gedung pencakar langit? Entahlah, saya hanya ingin merekam semua keindahan alam itu di dalam kepalaku.

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dan dynamo bus yang jatuh yang menyebabkan  perjalanan kami sedikit terhambat, kami pun sampai di rumah nenek. Alhamdulillah, selama perjalanan saya sama sekali tidak mengalami mabuk perjalan.

Camba

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami bersiap-siap menuju Camba, tempat kelahiran Mama. Jalanan berkelok-kelok, tidak beda jauh dengan jalanan dari kendari-kolaka. Naik turun bukit dengan jurang yang curam di sebelah jalan. Sekitar 1 jam, kami pun sampai di rumah keluarga yang berada di desa Timpuseng. 

Di sana kami beristirahat. Sementara orang tuaku sibuk berbincang dengan sang empunya rumah saya hanya diam dan mendengarkan. Kalau saya diajak berbicara menggunakan bahasa bugis saya pasti menjawab dengan bahasa Indonesia. Bukan tidak bisa berbahasa daerah, saya hanya takut terdengar lucu kalau berbicara. Yang pasti berada di kampung, logat dan cara bicara berbeda sekali dengan biasanya di Kendari.

Pemandangan di desa ini juga sangat menawan, sawah bertingkat-tingkat, bukit-bukit yang mengelilingi dan udaranya sangat sejuk. Kekurangannya satu, karena berada di lembah jaringan di sini sangat buruk. Sehingga membuat saya harus bersabar untuk mengupload keindahan tempat ini ke media sosial.


indah bukan?

Aaah saya membayangkan bagaimana kehidupan mama waktu kecil di sini. Bermain di sawah, mandi di sungai, cari kemiri di hutan…. Saya tidak bisa berhenti memotret, selfie, dan berfoto dengan pemandangan ini. Seandainya saya memiliki teman yang bisa diajak “gila” saya ingin sekali jalan-jalan di tengah sawah sekaligus berfoto-foto. Sayangnnya teman seperjalanan saya hanya sepasang kakek-kakek dan nenek-nenek saja. J

Kami menginap di Camba semalam karena besoknya kami akan pergi jalan-jalan ke Taman Nasional Bantimurung. Subuh-subuh, Aji, sepupuku yang umurnya sebenarnya sangat berbedah jauh dari saya karena anaknya pun lebih tua dari saya, yang membuat saya bingung harus memanggil dia apa dan karena dia sudah menunaikan ibadah haji, saya pun memanggil dia Aji sudah menyiapkan bekal untuk ke Bantimurung. Sedangkan saya masih meringkuk di balik selimut tebal karena suhu di sana dinginnya keterlaluan. Sampai pukul delapan pagi pun rasanya masih enggan meninggalkan tempat tidur. Saya pun dengan terpaksa bangun dan berjuang melawan dinginnya air, mandi.

Bantimurung

Setelah penantian panjang, akhirnya saya menginjakkan kaki di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Tempat wisata di kampung sendiri tapi selama ini saya hanya melihatnya di televisi. Dari jauh saya dan keluarga sudah di sambut oleh pemandangan patung monyet raksasa dan kupu-kupu yang sudah tidak berbentuk kupu-kupu lagi (sayang sekali). 


Sebelum memasuki area permandian air terjun Bantimurung, saya membeli beberapa cinderamata khas Bantimurung yang banyak di jual di sekitar area parkir kendaraan. Perlu diketahui, tiket masuk ke tempat wisata ini yaitu dua puluh lima ribu per orang, cukup terjangkau. 




Sayangnya, saat berkunjung ke sini, sedang musim hujan sehingga airnya keruh dan saya tidak menjumpai seekor monyet pun, serta kupu-kupu yang saya lihat pun sedikit. Meskipun begitu tidak mengurangi sukacita saya berada di sini. Kalau sudah berada di tempat kaya begini rasanya kurang afdol kalau belum foto-foto, iya kan? hehe.



Saya kurang berbakat jadi model, jadi maklum gayanya kaya gini...

Setelah puas mandi-mandi di bawah air terjun dan keliling sampai di depan pintu gua, waktunya makan bekal yang sudah dibawa sambil bersantai sejenak menikmati suasana alam di sini. Sekitar jam satu siang kami pun bergegas pulang dan saya tidak sempat mengunjungi museum kupu-kupu yang ada di kawasan wisata ini. Yang pasti saya ingin mampir lagi ke sini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar